Bab
1
Pengertian
Hukum dan Hukum Ekonomi
1.1 Pengertian
hukum
a)
Pengertian
hukum menurut Aristoteles
Sesuatu yang berbeda dari sekedar mengatur dan
mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur
tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman
terhadap pelanggar.
b)
Menurut
Van kan
hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat
memaksa untuk melindumgi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
c)
Pengertian
hukum menurut Prof. Soedkno Mertokusumo
Keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah
dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku
dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan
sanksi.
1.2 Tujuan Hukum
- Untuk menjamin berfungsinya mekanisme pasar secara
efisien dan lancar
- Untuk melindungi berbagai jenis usaha, khususnya jenis
Usaha Kecil Menengah (UKM)
- Untuk membantu memperbaiki system keuangan dan system
perbankan
- Memberikan perlindungan terhadap pelaku ekonomi
- Mampu memajukan kesejahteraan umum
1.3 Sumber-sumber hukum
Sumber-sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat
menimbulkan terbentuknya peraturan-peraturan. Peraturan tersebut biasanya
bersifat memaksa. Sumber-sumber Hukum ada 2 jenis yaitu:
1. Sumber-sumber hukum materiil, yakni sumber-sumber hukum yang ditinjau dari berbagai perspektif.
2. Sumber-sumber hukum formiil, yakni UU, kebiasaan, jurisprudentie, traktat dan doktrin
1. Sumber-sumber hukum materiil, yakni sumber-sumber hukum yang ditinjau dari berbagai perspektif.
2. Sumber-sumber hukum formiil, yakni UU, kebiasaan, jurisprudentie, traktat dan doktrin
·
Perundang-undangan
Perundang-undangan dalam hal ini meliputi undang-undang
peninggalan Hindia Belanda di Indonesia pada masa lampau, namun masih dianggap
berlaku dan sah hingga saat ini berdasarkan atas peralihan UUD 1945, misalya
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHD (Kitab Undang-undang Hukum
Dagang). Selain itu juga perundang-undangan yang termaktub mengenai perusahaan
di Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang terus dilaksanakan dan
dikembangkan hingga saat ini.
·
Kontrak
Perusahaan
Kontrak perusahaan atau yang biasa juga disebut dengan
perjanjian selalu ditulis dan dianggap sebagai sumber utama hak dan kewajiban
pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kesepakatan. Apabila saat tertentu
terjadi perselisihan antara pihak-pihak terkait, dalam hal ini saat kontrak
perusahaan masih berlaku, maka penyelesaian dapat dilakukan melalui perdamaian,
arbitase, atau pengadilan umum sekali pun jika tidak ditemui penyelesaian yang
jelas. Tentunya kontrak perusahaan ini yang akan memberikan pertimbangan
tertentu sekaligus secara jelas akan mempengaruhi putusan. Karena secara jelas
semua menyangkut kontak dan ketentuannya telah tercantum dalam kontrak
tersebut.
·
Yurispudensi
Yurisprudensi adalah sumber hukum perusahaan yang dapat
diikuti oleh pihak-pihak terkait. Hal ini akan mengisi kekosongan hukum,
terutama jika terjadi suatu sengketa terkait pemenuhan hak dan kewajiban.
Secara otomatis, yurisprudensi ini akan memberikan jaminan perlindungan atas
kepentingan pihak-pihak, terutama bagi mereka yang berusaha di Indonesia.
·
Kebiasaan
kewajiban tidak tercantum dalam undang-undang dan
perjanjian. Karena itulah kebiasaan yang telah berlaku dan berkembang di
kalangan pengusaha dalam menjalankan perusahaan dengan lazim menjadi panutan
untuk mencapai tujuan sesuai kesepakatan. Kebiasaan yang biasanya dapat menjadi
acuan bagi perusahaan adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
Perbuatan yang bersifat perdata
b.
Mengenai hak serta kewajiban yang
harus dipenuhi
c.
Tidak bertentangan dengan
undang-undang atau sumeber hukum lainnya
d.
Diterima oleh semua pihak secara
sukarela karena telah dianggap sebagai hal yang logis dan patuh
e.
Diterima oleh semua pihak secara
sukarela karena telah dianggap sebagai hal yang logis dan patuh
Sumber-sumber Hukum Bisnis pada
Aspek Hukum dalam Ekonomi
Setidaknya ada empat sumber hukum bisnis pada aspek hukum
dalam ekonomi, yaitu perundang-undangan, kontrak perusahaan, yurisprudensi, dan
kebiasaan. Berikut masing-masing penjelasannya.
1.4 kodifikasi hukum
Adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab
undang-undang secara sistematis dan lengkap.
- Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan atas :
Ø
Hukum Tertulis (statute law,
written law), yaitu hukum yang dicantumkan pelbagai peraturan-peraturan,
dan
Ø
Hukum Tak Tertulis (unstatutery
law, unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan
masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu
peraturan perundangan (hukum kebiasaan).
·
Menurut teori ada 2 macam kodifikasi
hukum, yaitu :
Ø
Kodifikasi terbuka
Adalah kodifikasi yang membuka diri terhadap terdapatnya
tambahan-tambahan diluar induk kondifikasi.
“Hukum dibiarkan berkembang menurut kebutuhan masyarakat dan
hukum tidak lagi disebut sebagai penghambat kemajuan masyarakat hukum disini
diartikan sebagai peraturan”.
Ø
Kodifikasi tertutup
Adalah semua hal yang menyangkut permasalahannya dimasukan
ke dalam kodifikasi atau buku kumpulan peraturan.
·
Unsur-unsur dari suatu kodifikasi
1. Jenis-jenis hukum tertentu
2. Sistematis
3. Lengkap
1.5 kaidah dan norma hukum
·
Norma
hukum
adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga
tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta
memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan
itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman
fisik (dipenjara, hukuman mati).
·
Norma
sosial
adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam
suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu.
1.6 pengertian ekonomi
Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam
memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya
ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat
pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Ilmu ekonomi adalah ilmu yang
mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran.
1.7 Pengertian Hukum Ekonomi
Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau
pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam
kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.
Sumber:
BAB
2
Subyek
Hukum dan Obyek Hukum
2.1 Subyek hukum
Dalam
dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia
dan badan hukum.
·
Manusia (naturelife person)
Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia
sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta
balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak
mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih
berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat
urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang
oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum.
Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau
dibantu oleh orang lain.
·
Badan hukum (recht person)
Badan hukum adalah suatu badan yang
terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum
sehingga mempunyai hak dann kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan
hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai
kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan
hukum dengan
·
manusia sebagai pembawa hak adalah badan
hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara,
tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
2.2 Obyek
hukum
Obyek hukum ialah
segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek hukum. Atau segala sesuatu
yang dapat menjadi obyek suatu perhubungan hukum. Obyek hukum dapat pula
disebut sebagai benda. Merujuk pada KUHPerdata, benda adalah tiap-tiap barang
atau tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.
Benda itu sendiri dibagi menjadi :
Benda itu sendiri dibagi menjadi :
·
Berwujud atau konkrit
a.
Benda Begerak
Ø
Bergerak sendiri,contoh: hewan
Ø
Digerakkan, contoh: kendaraana
b.
Benda tak bergerak,contoh: pohon dan
tanah
·
Tidak berwujud
Contoh: gasa dan angin
2.3 Hak
Kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan hutang
Hak Kebendaan yang Bersifat sebagai
Pelunasan Utang (Hak Jaminan)
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan utang adalah hak jaminan yang melekat pada kreditur yang memberikan kewenangan kepadanya untuk melakukan ekekusi kepada benda melakukan yang dijadikan jaminan, jika debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian)
Perjanjian utang piutangn dalam KUHP tidak diatur secara terperinci, namun tersirat dalam pasal 1754 KUHP tentang perjanjian pinjam pengganti, yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan utang adalah hak jaminan yang melekat pada kreditur yang memberikan kewenangan kepadanya untuk melakukan ekekusi kepada benda melakukan yang dijadikan jaminan, jika debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian)
Perjanjian utang piutangn dalam KUHP tidak diatur secara terperinci, namun tersirat dalam pasal 1754 KUHP tentang perjanjian pinjam pengganti, yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.
Unsur-unsur dari jaminan, yaitu :
1. Merupakan
jaminan tambahan
2. Diserahkan
oleh nasabah debitur kepada bank/kreditur
3. Untuk
Mendapatkan fasilitas kredit/pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
III.
Kegunaan dari jaminan yaitu, :
1.
Memberi hak dan kekuasaan kepada bank/kreditur untuk mendapatkan pelunasan
agunan, apabila debitur melakukan cidera janji.
2. Menjamin agar
debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan
untuk meninggalkan usahanya/proyeknya dengan merugikan diri sendiri dapat
dicegah.
3.
Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya misalnya dalam
pembayarn angsuran pokok kredit tiap bulannya.
III.
Syarat – syarat benda jaminan :
1. Mempermudah
diperolehnya kredit bagi pihak yang memerlukannya
2. Tidak
melemahkan potensi/kekuatan si pencari kredit untuk melakukan dan meneruskan
usahanya.
III.
Manfaat benda jaminan bagi kreditur :
1. Terwujudnya keamanan yang
terdapat dalam transaksi dagang yang ditutup
2.
Memberikan kepastian hukum bagi kreditur
Sedangkan manfaat benda bagi jaminan debitur, adalah : untuk memperoleh fasilitas kredit dan tidak khawatir dealam mengembangkan usahanya.
Sedangkan manfaat benda bagi jaminan debitur, adalah : untuk memperoleh fasilitas kredit dan tidak khawatir dealam mengembangkan usahanya.
III.
Penggolongan jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu :
1. Jaminan yang
bersifat umum
2. Jaminan yang
bersifat khusus
3. Jaminan yang
bersifat kebendaan dan perorangan
III.
Penggolongan jaminan berdasarkan objek/bendanya, yaitu :
1. Jaminan dalam
bentuk benda bergerak
2. Jaminan dalam
bentuk benda tidak bergerak
III.
Penggolongan jaminan berdasarkan terjadinya, yaitu :
1. Jaminan yang lahir
karena undang-undang
2. Jaminan
yang lahir karena perjanjian
BAB 3
Hukum
Perdataan
3. HUKUM
PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA
3.1 SEJARAH SINGKAT HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI
INDONESIA
Sejarah membuktikan
bahwa Hukum Perdata yang saat ini berlaku di Indonesia, tidak lepas dari
Sejarah Hukum Perdata Eropa.
Bermula dari benua
Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping
adanya Hukum tertulis dan Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata
Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli dari negara-negara di Eropa, oleh
karena itu hukum di di Eropa tidak terintegrasi sebagaimana mestinya, dimana
tiap-tiap daerah memiliki peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap
daerah itu berbeda-beda. Oleh karena adanya perbedaan terlihat jelas bahwa tidak
adanya kepastian hukum yang penunjang, sehingga orang mencari jalan untuk
kepastian hukum dan keseragaman hukum. Pada tahun 1804batas prakarsa Napoleon
terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “Code
Civil des Francais” yang juga dapat disebut “Code Napoleon”.
Dan mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman
Romawi anatar lain masalah wessel, assuransi, dan badan-badan hukum. Akhirnya
pada jaman Aufklarung (jaman baru pada sekitar abad pertengahan) akhirnya
dimuat pada kitab undang-undang tersendiri dengan nama “Code de Commerce”.
Sejalan degan adanya penjajahan oleh bangsa Belanda (1809-1811),
maka Raja Lodewijk Napoleon menetapkan: “Wetboek Napoleon Ingeright Voor het
Koninkrijk Holland” yang isinya mirip dengan “Code Civil des
Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan sumber Hukum Perdata di
Belanda (Nederland).
Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland disatukan
dengan Perancis pada tahun 1811, Code Civil des Francais atau Code
Napoleon ini tetap berlaku di Belanda (Nederland).
Oleh karena
perkembangan jaman, dan setelah beberapa tahun kemerdekaan Belanda (Nederland)
dari Perancis ini, bangsa Belanda mulai memikirkan dan mengerjakan kodifikasi
dari Hukum Perdatanya. Dan tepatnya 5 Juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan
terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dan WVK (Wetboek van koophandle) ini adalah
produk Nasional-Nederland namun isi dan bentuknya sebagian besar sama dengan Code
Civil des Francais danCode de Commerce.
Dan pada tahun
1948,kedua Undang-undang produk Nasional-Nederland ini diberlakukan di
Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum).Sampai saat ini
kita kenal denga kata KUH Sipil (KUHP) untuk BW (Burgerlijk Wetboek). Sedangkan
KUH Dagang untuk WVK (Wetboek van koophandle).
3.2. PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Hukum Perdata ialah
hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat.
Hukum Perdata dalam arti
luas meliputi semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai
lawan dari Hukum Pidana. Hukum Privat (Hukum Perdata Materiil) ialah hukum
yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam
masyarakat dan kepentingan dari masing-masing yang bersangkutan. Dalam arti
bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan suatu pihak
secara timbal balik dalam hubungannya terhadap orang lain dalam suatu
masyarakat tertentu.
Disamping Hukum Privat
Materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang sekarang dikenal denagn HAP
(Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala
aperaturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan
pengadilan perdata.
Keadaan Hukum Perdata Dewasa ini di Indonesia
Kondisi Hukum Perdata dewasa ini di Indonesia dapat dikatakan masih bersifat
majemuk yaitu masih beraneka warna. Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2
faktor yaitu:
1. Faktor Ethnis disebabkan keaneka ragaman Hukum Adat Bangsa Indonesia,
karena negara kita Indonesia ini terdiri dari berbagai suku bangsa.
1. Faktor Hostia Yuridisyang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S.
yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga Golongan, yaitu:
A. Golongan Eropa dan yang dipersamakan
B. Golongan Bumi Putera (pribumi / bangsa Indonesia
asli) dan yang dipersamakan.
C. Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab).
Pasal 131.I.S. yaitu
mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang
tersebut dalam pasal 163 I.S. diatas.
Adapun hukum yang
diberlakukan bagi masing-masing golongan yaitu:
1. Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan
berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum
Perdata dan Hukum Dagang di negeri Belanda berdasarkan azas konkordansi.
1. Bagi golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) dan
yang dipersamakan berlaku Hukum Adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala
berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar Hukum Adat tersebut belum
tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
1. Bagi golongan timur asing (bangsa Cina, India,
Arab) berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera
dan Timur Asing (Cina, India, Arab) diperbolehkan untuk menundukan diri kepada
Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan
hukum tertentu saja.
Pedoman politik bagi
pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131
(I.S) (Indische Staatregeling) yang sebelumnya pasal 131 (I.S) yaitu pasal 75
RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokoknya sebagai berikut:
1. Hukum Perdata dan Dagang (begitu pula Hukum
Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana harus diletakan dalam
kitab Undang-undang yaitu di Kodifikasi).
2. Untuk golongan bangsa Eropa harus dianut
perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (sesuai azas Konkordansi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur
Asing (yaitu Tionghoa, Arab, dan lainnya) jika ternyata bahwa kebutuhan
kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa
Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka.
4. Orang Indonesia Asli dan orang Timur Asing,
sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama denagn
bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk
bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara
hanya mengenai perbuatan tertentu saja.
5. Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesai ditulis
di dalam Undang-undang. Maka bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang
sekarang berlaku bagi mereka, yaitu Hukum Adat.
Disamping itu ada peraturan-peraturan
yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti:
-
Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 no7.4).
-
Organisasi tentang Maskapai Andil Indonesia (IMA) Staatsblad 1939 no 570
berhubungan denag no 717).
Dan ada pula
peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara, yaitu:
-
Undang-undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912)
-
Peraturan Umum tentang Koperasi (Staatsblad 1933 no 108)
-
Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no 523)
-
Ordonansi tentang pengangkutan di udara (Staatsblad 1938 no 98).
3.3. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
Sistematika Hukum
Perdata Kita (BW) ada dua pendapat. Pendapat pertama yaitu, dari pemberlaku
Undang-undang berisi:
Buku
1
: Berisi mengenai orang. Di dalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan
hukum kekeluargaan.
Buku
11 : Berisi tentang hal
benda. Dan di dalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
Buku
111 : Berisi tentang hal perikatan.
Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antar orang-orang atau
pihak-pihak tetentu.
Buku
1V : Berisi tentang pembuktian
dak daluarsa. Di dalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat
hukum yang timbul dari adanya daluarsa.
Pendapat yang kedua
menurut Ilmu Hukum / Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu:
1. Hukum rentang diri seseorang (pribadi).
Mengatur tentang manusia
sebagai subyek dan hukum, mengatur tentang prihal kecakapan untuk memiliki
hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu dan
selanjutnya tentan hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
11. Hukum Kekeluargaan
Mengatur prihal
hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu:
-
Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami denagn
istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
111. Hukum Kekayaan
Mengatur prihal
hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.
Hak-hak kekayaan terbagi
lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap orang, oleh karenanya
dinamakan Hak Mutlak dan Hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau pihak
tetetu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.
Hak mutlak yang
memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak
kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang
dapat terlihat dinamakan hak kebendaan.
Hak mutlak yang tidak
memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat.
-
Hak seorang pelukis atas karya lukisannya
-
Hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
1V. Hukum Warisan
Mengatur tentang benda
atau kekayaan seseorang jika ia meningal. Disamping itu hukumwarisan mengatur
akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
http://karlinaaafaradila.wordpress.com/2012/04/02/hukum-perdata/
BAB 4
Hukum
perikatan
4.1
pengertian hukum perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
4.2 dasar hukum perikatan
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
4.3
azaz-azaz dalam hukum perikatan
Asas-asas
dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
Asas
Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338
KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata
sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang
mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok
dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat
suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu
telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu,
artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan
harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap
pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya
isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
4.4 Wanprestasi dan
Akibat-akibatnya
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat
Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1.
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2.
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3.
Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
4.5 Hapusnya Perikatan
Perikatan
itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH
Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai
berikut :
Pembaharuan
utang (inovatie)
Novasi
adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada
saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti
perikatan semula.
Ada
tiga macam novasi yaitu :
1)
Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2)
Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan
utang (kompensasi)
Kompensasi
adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana
dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi
terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang
ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan
menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang
sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada
A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai
utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang
menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
– Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
– Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
-
Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang
yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
-
Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
Pembebasan
utang
Undang-undang
tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan
utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk
menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk
tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang
adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan
kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma-
Cuma.
Menurut
pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan
tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara
sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan
pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan
oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan,
kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan
: (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para
penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang,
tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah
seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya
barang yang terutang
Apabila
benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi
diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan
memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan
tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata,
maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah
perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan
sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237
KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu
kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas
tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak
kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan
dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang
kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan
dapat dibatalkan.
Disebut
batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang.
Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau
hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat
bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah
terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan,
maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi
hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang
membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang
bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat
perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B
menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau
A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan
penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah
batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut
bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya
adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat
dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya
sendiri.